MAKALAH PERBEDAAN IJTIHAD DALAM HUKUM ISLAM

              I.      PENDAHULUAN
Ijtihad merupakan dinamika ajaran Islam yang keberadaannya harus dipertahankan untuk menciptakan kehidupan yang kreatif. Hal ini disebabkan Al-Qur’an hanya mmemuat permasalahan-permasalahan secara garis besar. Manusia harus mampu menerjemahkan dan menjabarkan nash-nash Al – Qur’an yang masih garis besar itu kedalam realitas kehidupan masyarakat yang dinamik dan selalu berubah. Jika semangat ijtihad ini ditinggalkan ummat Islam maka yang terjadi adalah stagnasi, padahal  al-Qur’an selalu relefan denagan gerak dan dinamika masyarakat.
Salah satu kenyataan dalam fiqih adalah adanya perbedaan pendapat, banyak penyebab perbedaan pendapat dlam fiqih, bisa saja dari faktor metode atau faktor tempat tinggalnya para ulama tersebut. Dalam makalah ini saya mencoba memaparkan dari pengertian ijtihad, ruang lingkup ijtihad dan faktor  penyebab perbedaan dalam berijtihad.

          II.      PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ijtihad
Kata Ijtihad berakar dari al-juhd, yang berarti al-thaqah (daya,kemampuan,kekuatan) atau dari kata al-jahd yang berarti al-masyaqah (kesulitan,kesukaran)[1]. Dari pengertian diatas bisa kita simpulkan bahwa ijtihad secara bahasa adalah pengarahan semua kemampuan untuk suatu aktivitas yang berat atau sukar. Dalam pengertian secara bahasa diatas dapat kita ketahui ada dua unsur pokok yaitu pertama kemampuan dan yang kedua obyek yang berat atau sulit.
Ijtihad menurut ulama ushul ialah usaha seorang yang ahli fiqh yang menggunakan seluruh kemampuannya untuk menggali hukum yang bersifat amaliah (praktisi) dari dalil-dalil yang bersifat terperinci[2].
Dari beberapa pengertian diatas dapat kita ketahui bahwa ijtihad adalah suatu usaha untuk menentukan hukum.

B.     Ruang lingkup ijtihad dan syarat mujtahid
Ada batasan dalam berijtihad, ruang lingkup berijtihad adalah hukum-hukum syara yang dalailnya bersifat dzanni. Maksud dari dalil yang bersifat dzanni adalah dalil yang bersifat umum tidak pasti maknanya. Syahnya hasil ijtihad yang di keluarkan mujtahid harus memenuhi beberapa syarat. Tidak sembarangan orang bisa melakukan ijtihad, syarat-syaratnya yaitu:
1.      Mengetahui bahasa Arab dengan segala seginya sehingga memungkinkan dia untuk menguasai pengertian susunan kata-katanya karena obyek pertama bagi mujtahid ialah pemahaman terhadap nash-nasah Al-Quran dan hadis yang berbahasa Arab.
2.      Mengetahui Al-Quran dan hadis terlebih yang berkaitan dengan hukum-hukum syara’.
3.      Mengetahui segi-segi pemakaina qiyas, seperti illat dan hikmah penetapan hukum, di samping fakta-fakta yang ada nashnya dan yang tidak ada nashnya.
4.      Pandai menghadapi nash-nash yang berlawanan.
5.      Mengetahui ilmu ushul fikih[3].

Dari syarat-syarat ini dapat kita ketahuai bahwa ijtihad adalah hal serius yang tidak bisa diwakilkan atau dilakukan sembarang orang. Dan bila mana ada orang yang melakukan ijtihad tapi tidak memenihi syarat di atas, maka hasil ijtihadnya tidak kuat.

C.     Penyebab Terjadinya Perbedaan Ijtihad
Beberapa hal  yang dapat menyebabkan perbedaan ijtihad, sebab pertama  yaitu berbeda dalam memahami nash dan dalam menyusun metode ijtihad yang didasari sosio-kultural dan geografis mujtahid .adapun sebab pertama  itu adalah:
1.      Karena perbedaan dalam memahami dan mengartikan kata-kata dan istilah baik dalam Al-Quran maupun Hadist. Misalkan saja, dalam Al-Qur’an terdapat kata quru,. Sebagian ulama’ ada yang mengartikan haidh dan sebagian yang lain ada yang mengartikan suci.
2.      Berbeda tanggapan terhadap Hadist. Hal ini terjadi karena mereka berbeda pendapat dalam menilai tsiqat (terpercaya) tidaknya seorang perawi, lemah tidaknya matan dan sanad suatu Hadis jika dibandingkan dengan matan dan sanad lain. Sehingga, ada beberapa ulama’ yang berbeda dalam mengkategorikan bahwa suatu hadits tersebut dimasukkan ke dalam hadits shohih, hasan, maupun dho’if. Konsekuensinya, kehujjahannya pun akan berbeda satu sama lainnya.
3.      Berbeda tanggapan  tentang ta’arudl (pertentangan antara dalil) dan tarjih (menguatkan satu dalil atas dalil lainnya) seperti: Tentang nasakh dan mansukh, tentang pentakwilan, dan lain sebagainya[4].
4.      Perselisihan tentang ilat dari suatu hukum. Perselisihan para mujtahid mengenai ilat (`illah=sebab) dari suatu hukum juga merupakan salah satu sebab terjadinya perbedaan hasil ijtihad[5]

Dan sebab kedua adalah metode yang disebabkan sosio-kultural dan geografis mujtahid, disini hanya akan mengambil dari empat mujtahid  yang mempengaruhi cukup luas dalam islam . Yaitu:
Sejarah singkat mengenai empat imam mengenai hasil metodenya yang disebabkan sosio-kultural dan geografis. Pada masa sahabat ada dua kelompok (pandangan hukum) yaitu kelompok pertama Ali bin Abi Thalib bersama Bilal kelompok pertama lebih menekankan ke nash secara ketat dan kelompok kedua lebih kerasio yang lebih luas tokoh kelompok ini diantaranya Umar bin Khatab dan Ibnu Mas’ud. Dan selanjutnya kelompok ini berkembang menyebar dan memeliki pengaruh. Kelompok pertama berkumpul disekitar hijaz sedangkan kelompok yang kedua berkumpul disekitar kufah. Sejarah kemudian menceritakan kepada kita bahwa Imam Malik tinggal di makkah (termasuk daerah hijaz) dan Imam Abu Hanifah tinggal di Kuffah. Imam Malik hidup didalam yang masih banyak menjumpai sahabat Nabi sehingga dalam berijtihad lebih kenash secara ketat, sedangkan Imam Abu Hanifah tinggal dimana sedikit sekali dijumpai sahabat Nabi. Fakta geografis ini menimbulkan perbedaan dalam pemecahan kasus.
Berikutnya sejarah singkat mengenai Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal. Kedua Imam ini adalah murid dari Imam Malik sehingga mereka berdua mengikuti dari gurunya yaitu lebih cenderung ke kelompok Hijaz.
Metode-metode ijtihad iamam empat:
1.      Imam Abu Hanifah
1.Berpegang pada dalalatul Qur'an
- Menolak mafhum mukhalafah
- Lafz umum itu statusnya Qat'i selama belum ditakshiskan
- Qiraat Syazzah (bacaan Qur'an yang tidak mutawatir) dapat dijadikan dalil
2. Berpegang pada hadis Nabi
- Hanya menerima hadis mutawatir dan masyhur (menolak hadis ahad kecuali diriwayatkan oleh ahli fiqh))
- Tidak hanya berpegang pada sanad hadis, tetapi juga melihat matan-nya
3. Berpegang pada qaulus shahabi (ucapan atau fatwa sahabat)
4. Berpegang pada Qiyas
- Mendahulukan Qiyas dari hadis ahad
5. Berpegang pada istihsan

1.      Imam Malik bin Anas
1.       Nash (Kitabullah dan Sunnah yang mutawatir)
- zhahir Nash
- menerima mafhum mukhalafah
2.       Berpegang pada amal perbuatan penduduk Madinah
3.       Berpegang pada Hadis ahad (jadi, beliau mendahulukan amal penduduk Madinah daripada hadis ahad)
4.       Qaulus shahabi
5.       Qiyas
6.       Istihsan
7.       Mashalih al-Mursalah

3.      Imam Syafi'i
1.       Qur'an dan Sunnah (artinya, beliau menaruh kedudukan Qur'an dan Sunnah secara sejajar, karena baginya Sunnah itu merupakan wahyu ghairu matluw). Inilah salah satu alasan yang membuat Syafi'i digelari "Nashirus Sunnah". Konsekuensinya, menurut Syafi'i, hukum dalam teks hadis boleh jadi menasakh hukum dalam teks Al-Qur'an dalam kasus tertentu)
2.       Ijma'
3.       hadis ahad (jadi, Imam Syafi'i lebih mendahulukan ijma' daripada hadis ahad)
4.       Qiyas (berbeda dg Imam Abu Hanifah, Imam Syafi'i mendahulukan hadis ahad daripada Qiyas)
5.       Beliau tidak menggunakan fatwa sahabat, istihsan dan amal penduduk Madinah sebagai dasar ijtihadnya

4.      Imam Ahmad bin Hanbal
1.       An-Nushush (yaitu Qur'an dan hadis. Artinya, beliau mengikuti Imam Syafi'i yang tidak menaruh Hadis dibawah al-Qur'an)
- menolak ijma' yang berlawanan dengan hadis Ahad (kebalikan dari Imam Syafi'i)
- menolak Qiyas yang berlawanan dengan hadis ahad (kebalikan dari Imam Abu Hanifah)
2.       Berpegang pada Qaulus shahabi (fatwa sahabat)
3.       Ijma'
4.       Qiyas[6]

Dari beberapa sebab perbadaan diatas pada perinsipnya disebabkan karena berbeda dalam memahami nash dan metode pengambilan hukum yang dikarenakan sosio-kultural dan geografisnya..

       III.      KESIMPULAN
Dari pemaparan makalah di atas dapat disimpulkan bahwa perbedaan ijtihad yang yang terjadi di antara para mujtahid memang bukanlah sesuatu yang tak dapat terhindarkan. Tanpa mengetahui latar belakang dan alasan-alasan, akan memberikan kesan negative terhadap perbedaan-perbedaan ini. Faktor kultur atau budaya yang ada pada masa di mana masing-masing mujtahid hidup merupakan salah satu penyebab terjadinya perbedaan ini. Bagaimana tidak, seorang mujtahid tentu akan menyesuaikan kultur masyarakat yang ada pada saat itu.

       IV.      PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat saya paparkan. Saya yakin dalam penulisan makalah ini masih ada banyak kesalahan-kesalahan. Untuk itu, kritik yan bersifat membangun sangat saya harapkan. Semoga dapat memberikan manfaat pada kita semua. Amin.




DAFTAR PUSTAKA

Abu zahrah Muhammad, ushul fiqih, Jakarta : PT. Pustaka Firadaus (cetakan kesepuluh) 2007
Djazuli H.A., Ilmu Fiqih Pengalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam. Jakarta: PT. Prenada Meia 2005
Rusli Nasrun,Konsep Ijtihad Al-Asyaukani, Jakarta: PT. Logos,1999


[1] Dr, Nasrun Rusli,Konsep Ijtihad Al-Asyaukani, Jakarta: PT. Logos,1999. hal 73-74
[2] Prof. Muhammad abu zahrah, ushul fiqih, Jakarta : PT. Pustaka Firadaus (cetakan kesepuluh) 2007. hal 567-568
[4] Prof.H.A. Djazuli, Ilmu Fiqih Pengalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam. Jakarta: PT. Prenada Meia 2005 hal117-118

1 Response to "MAKALAH PERBEDAAN IJTIHAD DALAM HUKUM ISLAM"

  1. Alhamdulillah berkat ini saya jadi lebih tahu lagi tentang ijtihad dan para imam 4 madzhab, membuat saya ingin tahu lagi dan semoga bisa menyontoh akhlak dan mempunyai ilmu setidaknya mendekati keilmuan Imam Asy-Syafi'i, izin copas akhi, tidak semua sih hehehe, barakallah akhi, jazakallahu khair...~

    BalasHapus